Pages

Subscribe:

Labels

Kamis, 29 September 2011

Jatuh Cinta Itu Peristiwa Kimia

Jatuh cinta.
Mabuk kepayang.
Demam asmara.
Tergila-gila.
Istilah-istilah yang—kalau dipikir-pikir—nyentrik juga, ya? Jatuh cinta—kayaknya frasa ini bersaudara sepupu dengan jatuh sakit. Lalu, kenapa gejolak perasaan cinta yang menggelora dibayangkan sebagai ’mabuk’ dan ’demam’? Lebih gawat lagi, rasa terpesona yang berlebihan sampai meluluhlantakkan jiwa dianggap mirip dengan kondisi orang yang sedang kehilangan akal sehat.
Entah siapa yang pada mulanya mencetuskan istilah-istilah tersebut, mereka tampaknya bukan sekadar hendak membentuk rangkaian kata yang unik. Sebaliknya, mereka memilih perpaduan kata itu melalui pengamatan yang jeli atas pengalaman yang berulang-ulang: oh, rupanya orang yang sedang kasmaran itu cenderung menunjukkan gejala-gejala yang mirip dengan orang sakit, demam, mabuk, atau malah (maaf) gila.
Nyatanya, pengamatan tersebut jitu. Anda yang pernah mengalami getaran gelombang cinta tak ayal akan mengamininya. Cinta membikin kita panas-dingin ’menderita’, namun juga menawarkan kepuasan yang membuat kita serasa melayang di awan. ’Sakit’, namun sekaligus nikmat menimbulkan ketagihan. Bahasa sinetronnya: termehek-mehek. Bukankah begitu?
Lebih jauh lagi, bukan hanya berdasarkan pengalaman, pengamatan itu ternyata juga bisa diteguhkan secara ilmiah. Sejumlah penelitian mendapati bahwa orang yang sedang jatuh cinta tubuhnya mengalami proses kimiawi yang serupa dengan orang yang sedang kecanduan. Cinta rupanya bukan hanya suatu gelora perasaan, namun juga melibatkan aktivitas berbagai hormon tubuh.
Sebuah penelitian menunjukkan, berpandangan berlama-lama saja sudah berpengaruh hebat terhadap keterpikatan orang satu sama lain. Profesor Arthur Aron dari State University of New York mengamati apa yang terjadi ketika orang jatuh cinta dan menemukan efek dahsyat pandangan mata. Dalam salah satu eksperimennya, ia meminta orang-orang berlawanan jenis yang tidak saling mengenal untuk bertemu selama 90 menit dan membicarakan hal-hal yang intim tentang diri mereka. Kemudian ia meminta mereka saling menatap mata selama 4 menit tanpa berbicara. Hasilnya? Banyak peserta eksperimen merasakan keterpikatan yang mendalam terhadap mitranya setelah uji coba tersebut, dan dua orang di antaranya bahkan menikah enam bulan kemudian.
Apa sebenarnya yang terjadi ketika kita pertama kali jatuh cinta? Jatuh cinta memicu sejumlah reaksi kimia di dalam otak dan sekujur tubuh kita. Gejala-gejala yang lazim ditemui: jantung berdegup lebih kencang, pipi memerah, telapak tangan berkeringat. Serba membuat salah tingkah sampai tenggorokan tanpa alasan terasa gatal dan Anda ingin batuk-batuk, ya kan?
Menurut para peneliti, gejala-gejala itu muncul karena tubuh melepaskan bahan-bahan kimia yang menyulut perasaan cinta, seperti dopamine dan norepinephrine. Dopamine itu bahan kimia pemicu rasa senang, membuat kita bahagia melayang-layang. Norepinephrine mirip dengan adrenalin, berfungsi memacu jantung dan memantik gairah. Paduan kedua bahan kimia itu membangkitkan kegembiraan, energi yang kuat, dan perhatian yang terfokus, namun juga membuat orang gelisah susah tidur, kehilangan selera makan, dan ketagihan. Nenek moyang kita, ketimbang menggunakan istilah yang membikin lidah tergigit, secara cerdas cukup menyebutnya sebagai mabuk kepayang.
Itu masih dalam tahap ”cinta pada pandangan pertama”. Bila gayung bersambut, jika si dia yang didambakan ternyata merasakan getaran yang sama, dan keduanya sepakat untuk menautkan rasa, mereka akan melangkah ke tahap hubungan selanjutnya. Sejoli yang dilanda asmara ini akan memasuki tahap keterpikatan, tahap romantis, atau yang umum dikenal sebagai masa pacaran.
Melalui alat yang bernama Functional Magnetic Resonance Imaging (FMRI), peneliti dapat memindai apa yang berlangsung di dalam otak orang sewaktu mereka memandangi foto sang kekasih. Hasil scan terhadap orang yang tengah tergila-gila pada pasangannya menunjukkan adanya dorongan biologis yang kuat untuk memusatkan perhatian pada satu orang tertentu, yaitu pasangannya tadi. Aliran darah meningkat di bagian otak yang penuh dengan ujung saraf penerima dopamine, menimbulkan perasaan senang yang melambung, serupa dengan yang dialami oleh orang yang kecanduan. Bila intensitasnya tinggi, hal itu mengakibatkan pemusatan perhatian, ingatan pendek, hiperaktivitas, susah tidur, dan perilaku yang berorientasi pada tujuan. Begitulah, orang yang tengah asyik pacaran cenderung suntuk hanya memerhatikan urusan hubungan satu sama lain. Ibaratnya: dunia hanya milik mereka berdua, semua orang yang lain pada kontrak.
Ada lagi penjelasan lain mengenai hal tersebut. Menurut peneliti di University College London, orang yang sedang jatuh cinta memiliki kadar serotonin yang rendah. Kadar serotonin yang rendah ini serupa dengan yang ditemukan pada penderita gangguan obsesif-kompulsif. Apa pula itu? Bila pacar Anda setiap lima menit selalu menelepon untuk mengetahui Anda sedang berada di mana, Anda sedang melakukan apa, dan Anda sedang bersama dengan siapa—bolehlah Anda curiga bahwa ia penderita gangguan obsesif-kompulsif tak terkendali. Kalau masih terkendali, pasangan yang sedang jatuh cinta akan beranggapan ”engkau diciptakan hanya untukku, dan aku diciptakan hanya untukmu”; tak sudi berbagi dengan yang lain. Begitulah.
Selain itu, sirkuit saraf yang berkaitan dengan kemampuan menilai orang lain juga tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Orang yang jatuh cinta kehilangan obyektivitasnya, tidak mampu berpikir secara rasional—paling tidak dalam menilai sang dambaan hati. Lagu-lagu pop yang mendendangkan ”cinta itu buta” terbukti keakuratannya dalam tahap romantis ini. Sang Romeo memusatkan perhatian pada kebaikan dan keunggulan sang Juliet, serta mengabaikan dan mengampuni kelemahannya; begitu pula sebaliknya. Si cowok melihat ceweknya bagaikan Putri Jelita nan Rupawan; si cewek memandang cowoknya laksana Pangeran Tampan yang Berjaya. Sejoli yang sedang mabuk asmara ingin menghabiskan waktu selama mungkin, berduaan dan berdekatan, berusaha mengenal satu sama lain lebih dalam. Kalau tidak diancam agar segera pulang oleh orangtua atau diusir oleh ibu kos karena melewati batas waktu berkunjung, mana mau mereka berpisah. Inilah masa-masa ”tahi kucing rasa cokelat”.
Tahap ini, tentu saja, tidak bertahan sampai selama-lamanya. Secara hormonal, bahan-bahan kimia yang menyokong perasaan cinta yang membuncah itu lama-lama menyusut juga. Akibatnya, daya pesona sang kekasih yang semula begitu menyilaukan gara-gara pengaruh ’hormon cinta’ tadi perlahan-lahan akan memudar. Jerawat di wajah yang sempat terabaikan kembali terlihat mencolok. Obyektivitas dan rasionalitas kembali berbicara. Sosok si dia sebenarnya tetap sama, namun kini kita menilainya dengan sewajarnya.
Pasangan tersebut menghadapi persimpangan. Dengan masuknya pertimbangan yang obyektif dan penalaran yang rasional, mereka dapat menimbang-nimbang secara—mudah-mudahan—lebih bening. Mereka, dengan berbagai alasan, bisa memilih untuk mengakhiri hubungan tersebut. Bisa pula mereka mendapati bahwa hubungan mereka cukup kuat dan layak untuk dilanjutkan ke tahap berikutnya.
Apa pun pilihan yang mereka ambil, diakhiri atau dilanjutkan, tahap cinta romantis atau masa pacaran sudah game over. Bila diakhiri, cepat atau lambat mereka masing-masing akan menjajaki hubungan pacaran yang baru dengan orang yang lain. Bila dilanjutkan, mereka akan memasuki tahap hubungan yang baru, hubungan pernikahan, dengan karakteristik yang berbeda dari hubungan pacaran. **